Minggu, 18 September 2011

SUAP DALAM PANDANGAN ISLAM



Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebutkan sabda Rasulullah Saw, yang baik sekali untuk kita renungi. Sabda Rasulullah Saw tersebut berbunyi ; “Akan datang kepada manusia suatu zaman, yang tidak peduli lagi seseorang di zaman itu tentang apa – apa yang diambil, apakah yang diambilnya itu halal atau haram.” Dengan sabdanya ini Rasulullah Saw memperingatkan manusia teristimewa lagi kita kaum muslimin yang hidup jauh sesudah masa beliau atau yang hidup di akhir zaman. Kita semua diperingatkan bahwa akan datang suatu masa, yang orang-orang oada masa itu sudah demikian rusak iman dan akhlaknya, sehingga mereka tidak menghiraukan lagi soal halal dan haram atau soal haq dan bathil. Norma-norma agama diremehkan dan yang dipandang penting ialah bagaimana tujuan yang diinginkannya tercapai. Harta kekayaan yang mereka peroleh, apakah mereka uasahakan dengan cara halal atau haram, mereka tak peduli. Kekuasaan atau jabatan yang mereka nikmati, apakah mereka dapatkan dengan cara-cara jujur atau curang, mereka tak mau tahu. Dan lain sebagainya.
Tampak sekarang ini, apa yang disabdakan Rasulullah tersebut secara persis belum terjadi dalam masyarakat di sekitar kita. Namun kalau kita amati, gejala-gejala yang mengarahkan sebagimana yang disabdakan Nabi itu makin banyak dilakukan orang, bahkan makin gemar dikerjakan orang. Dalam dunia perdagangan misalnya, banyak orang-orang yang melakukan praktek-praktek perdagangan yang curang dan mengandung tipuan. Takaran dan timbangan dikorupsi, barang yang bercacat dikatakan tak bercacat, sesuatu yang tak murni dikatakan murni, yang berkualitas rendah dikatakan berkualitas tinggi, merk-merk yang dipalsukan dan lain sebagainya.
SUAP
Sebuah contoh lagi yang dalam kesempatan ini perlu kita rennungkan dengan sungguh-sungguh, ialah perbuatan menyuap dan menerima suap. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa dewasa ini pasaran suap menunjukan gejala makin ramai. Boleh dikatakn suap menyuap sekarang ini telah merajalela meracuni segala sektor kehidupan, sehingga banyak orang yang menganggap penyuapan sebagai hal ayng biasa dan sangat biasa.
Dalam urusan yang menyangkut kepegawaiaan, seringkali uang suap memainkan peranan sangat penting. Orang ingin menjadi pegawai, orang ingin naik pangkat, kadang-kadang harus melalui jalur suap-menyuap. Artinya, tidak sedikit diantara saudara-saudara kita yang beragama islam sendiri yang besar atau tergolong pemim[
Pin, ternyata mau menyuap dan mau menerima uang suap. Dakam urusan perdagangan seringkali terjadi sakandal suap-menyuap, seringkali bahkan suap-menyuap kaliber kakap. Kemudian sogok-menyogok juga beroperasi di dunia peradilan, di dunia persepak bolaan, bahkan akhir-akhir ini merajalela pula di udnia pendidikan.
Tentu saja suap-menyuap yang makin membudaya dalam masyarakat kita ini mendatngkan akibat-akibat ayng buruk sekali. Keadilan tidak bisa tegak dalam masyarakat, dan sebaliknya yang merajalela ialah kezaliman dan kesewenang-wenenangan. Orang tidak mampu lagi bertindak obyektif, karena telah terpengaruh oleh uang suap yang menggiurkan. Karyawan hanya akan bekerja melaksanakan tugasnya dengan baik-baik kalau dilihatnya ada uang suao menumpuk di mukanya. Tetapi manakala yang diinginkannya tidak ada, ia bekerja tidak sebagimana mesinya, sehingga berbagai urusan yang menyangkut kepentingan umum menjadi terbengkalai. Jadi, suap mendidik pegawai menjadi malas bekerja.
Kalau suap telah menggerayangi sektor pendidikan pendidikan, maka hal ini dapat menghancurkan dunia pendidikan, sebab norma yang dianut bukan lagi norma yang bersifat akademis. Dan kalau suap menyuap telah sektor lalu lintas, maka yang menjadi korban ialah masyarakat, sebab orang-orang yang sebenarnya belum mampu mengendarai kendaraan bermotor dan belum mengetahui peraturan lalu lintas bisa saja memeperoleh surat izin mengemudi (SIM) dengan jlan menyogok petugas yang mengurusi SIM, sehingga akibatnya kecelakaan lalu lintas pun makin sering terjaadi.
Suap menyuap yang oleh sebagian orang dianggap sebagai perbuatan yang biasa dan sangat biasa, pada hakikatnya bukanlah perbuatan biasa. Dalam Islam perbuatan menyuap dan menerima suap digolongkan sebagai kejahatan yang sangat terkutuk yang dilaknat oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Dengan tegas Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah Haditsnya ;” Laknat Allah ditimpahkan kepada orang yang menyuap dan orang yang menerima suap dalam hukum.” (Riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Habban)..
Dalam hadits yang lain beliau tegaskan, bahwa yang mendapat laknat ini tidak saja orang yang menyuap dan yang makan suap, melainkan juga orang yang menjadi perantarnya yan memungkinkan penyuapan itu terjadi, Tsauban menerangkan bahwa ; “Rasulullah Saw melaknat orang uang menyuap, orang yang menerima suap dan orang yang menjadi perantaranya.”(Riwayat Ahmad dan Hakim).
Dalam suatu riwayat disebutkan pula, Rasulullah Saw pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke tempat-tempat ornag yahudi menyodorkan uang kepadanya. Tetapi utusan Rasulullah ini menolak dengan berkata tegas kepada mereka ; “Suap yang kamu sodorkan kepadaku ini adalah haram hukumnya, karena itu aku taka mau menerimanya.”(Riwayat Malik).
Jadi nyatalah suap suap bukanlah perkara yang boleh kita anggap remeh lalu sambil mengangkat bahu kita bersikap : ah itu soal biasa. Menyuap, makan suap dan menjadi perantara dalam penyupan adalah perbuatan yang jahat, perbuatan-perbuatan yang nyata-nyata diharamkan dalam Islam, yang dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu kita semua dilarang melakukannya.
“Hadiah” dan lain-lain.
Mungkin bagi orang yang sudah terlalu terjaebak dalam pekerjaan suap-menyuap ini katakanlah sudah “hobbi”, berkata memebela diri. Misalnya dengan berkata, bahwa apa yang diberikannya atau pa yang diterimanya dalam suap-menyuap itu pada hakekatnya bukanlah suap, melainkan adalah barang hadiah. Dan hadiah adalah halal hukumnya dalam agama. Mungkin juga orang yang lain berkata, bahwa orang yang disebutkan sebagai suap itu bukanlah suap, tetapi adalah sekedar uang pelicin, uang lembur atau uang rokok, lagipula jumlahnya toh tak seberapa. Demikian kata mereka.
Kita bisa menjawab, bahwa soal perbedaan nama tidak penting. Apakah namanya hadiah, uang pelicin atau nama yang lain lagi, kalau materi perbuatannya dan kalau maksud dan tujuannya toh itu itu juga, tetap perbuatan itu suap juga. Demikian juga sola jumlah sedikit atau banyak tidak bisa merubah perbuatan suap menjadi bukan suap. Sesuatu yang haram, tetap akan haram, tidak peduli jumlahnya sedikit atau banyak. Disamping itu kita hendaknya ingat pula akan sabda Rasulullah Saw, yang dengan tegas menyebutkan ;
“Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu pekerjaan, kemudian untuk itu kami berikan gajinya, maka apa yang diambilnya selain dari itu berarti suatu penipuan.”(Riwayat Abu Daud).
Tersebutlah pula dalam suatu riwayat: Umar bi Abdul Aziz pernah diberi hadiah oleh seseorang sewaktu beliau menjabat sebagai khalifah, tetapi beliau menolaknya. Kemudian diberitahukan kepada beliau, bahwa Rasulullah dulu mau menerima hadiah, namun beliau tetap saja menolak hadiah tersebut dengan berkata : “Apa yang diterima Rasulullah Saw itu memang benar hadiah, tetapi pemberian yang untukku ini bagiku merupakan suap.”
Pernah juga Rasulullah Saw, mengirimkan seorang petugas untuk mengumpulkan zakat dari kabilah Azdi. Setelah petugas tersebut menyelesaikan pekerjaannya, ia menghadap beliau. Sebagian dari barang yang dibawanya diserahkan kepada beliau dan sebagian lagi ditahannya untuk dirinya sendiri. Ia berkata ; “Bagian yang ini untukmu, Ya Rasulullah, da baguian yang satu lagi untukku yang diberikan orang kepadaku sebagai hadiah.” Mendengar kata-kata petugas ini, Rasulullah marah sambil bersabda: “mengapa kamu tidak tinggal saja di rumah bersama ibu bapakmu, sehingga hadiah itu diberikan orang kepadamu, kalau kamu memang betul orang yang jujur?”
Dengan sabdanya ini, Rasulullah Saw, tidak dapat membenarkan petugas yang menerima hadiah dari orang lain, sebab sebagai petugas atau pegawai ia toh telah diberikan penghasilan resmi. Apa yang diterima dari orang lain yang langsung atau tidak langsung ada kaitannya dengan jabatan yang dipangkunya tentulah bukan sekedar pemberian atau hadiah yang biasa. Rasulullah menyebutkan sebagai “ghulul” yaitu penipuan, atau Umar bin Abdul Aziz dengan tegas bahkan menamakannya sebagai barang suap.
Dalam hubungan ini Imam Al-Ghazali berkata pula, bahwa pejabat yang menerima hadiah dari orang lain perlu berpikir, apakah hadiah yang diterimanya itu ada kaitannya dengan jabatan yang dipangkunya atau tidak. Kalau jelas ada kaitannya, maka dia haram hukumya menerima hadiah itu. Dan kalau dia sangsi atau ragu – ragu apakah hadiah itu ada kaitannya dengan jabatan yang dimilikinya, maka dia juga dilarang meneriam hadiah tersebut, sebab yang demikian itu termasuk barang syubhat yang harus dijahui. Dia hanya boleh menerima hadiah tersebut kalau jelas-jelas hal itu tidak ada kaitannya samasekali dengan jabatannya atau tugas yang dilaksanakannya.
Penutup
Banyak orang di zaman kita sudah terbiasa dengan suap, dengan uang pelicin, uang kopi dan lain sebagainya. Demikian tebiasanya mereka dengan hal-hal ini, sehingga hampir - hampir sudah tidak dirasakan lagi oleh mereka bahwa sebenarnya apa yang mereka lakukan itu sangat dilarang lagi oleh agama dan dilaknat oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Marilah kita bertaubat kepada Allah Swt, kalau memang kita pernah melakukan hal ini, apalagi kalau sering melakukannya. Janganlah kita mengulangi melakukan perbuatan yang terlarang ini untuk selama-lamanya. Janganlah kita menyuap, menerima suap danjangan pula menjadi perantaranya.
Kita harus ingat, bahwa segala sesuatu yang kita dapatkan dari hasil suap, misalnya harta kekayaan atau lainnya, hukumnya tidak halal seperti halnya semua hal yang kita peroleh denga cara-cara yang tidak halal. Padahal kita kaum Muslimin diperintahkan oleh Allha Swt untuk makan barang yang halal dan mengusahakannya denga cara yang halal pula.
Siapa saja tidak menghiraukan hal ini, sungguh berat sanksi yang diterimanya. Haarta benda yang dimanfaatkannya yang diusahakan dengan cara-cara yang tidak halal itu bisa menjerat dia masuk ke dalam api neraka, sebagaiman disabdakan Rasulullah Saw ; ”Tidak masuk surga, orang yan daging dan darahnya tumbuh dari sesuatu yang haram. Nerakahlah yang lebih pantas baginya”.(Riwayat Tirmidzi).
Mudah-mudahan kita diajuhkan Allah dari hal yang demikian itu. Mudah-mudahan kita senantiasa dianugerahi-Nya denga rezeki dan amal usaha yang sepenuhnya halal.

0 komentar: